JAM di layar HP Nokia butut saya menunjukkan pukul 10 malam ketika travel lanjutan bus Efisiensi berhenti di Bundaran UGM, tujuh tahun silam. Itu adalah titik pemberhentian terakhir, dan saya satu-satunya penumpang yang tersisa.
Tujuh tahun lalu, saya menginjakkan kaki untuk pertama kali di
kota ini, sebagai anak remaja yang baru mulai beranjak dewasa. Saya turun
dengan banyak harapan di pundak saya, dengan ekspektasi banyak orang yang memaksa
saya menjadi sosok yang ambisius. Kota inilah yang akan menjadi tempat saya
berproses selama entah berapa tahun ke depan, hidup jauh dari keluarga untuk
tumbuh menjadi lelaki dewasa, untuk menjawab semua ekspektasi yang celakanya
justru malah membebani langkah saya.
Malam itu rasanya sangat panjang, sebab saya harus tidur di masjid
kampus, dengan nyamuk-nyamuk brengsek yang membuat saya baru bisa tidur
beberapa menit sebelum terbangun lagi karena azan subuh. Saya belum punya
tempat tinggal, dan pagi harinya harus menjalani tes kesehatan sebelum resmi
menjadi seorang mahasiswa baru.
Saya tak pernah terpikir akan bertahan di Yogya hingga tujuh
tahun lebih. Ekspektasi banyak orang membuat saya mematok target lulus maksimal
empat tahun, setelah itu pulang, bekerja, dan menjalani kehidupan yang penuh
kemapanan demi menjawab semua ekspektasi itu.
Saya memang lulus tepat waktu, hanya lewat beberapa bulan
dari target. Tapi ternyata proses berkata lain. Banyak sekali hal-hal yang saya
temui di kota ini, yang kemudian sedikit demi sedikit menggeser tujuan saya tujuh
tahun lalu.
Yogya memberikan pengalaman bertemu dan berdiskusi dengan
banyak orang, dengan banyak pemikiran, dengan banyak sudut pandang, yang
akhirnya membuat saya berpikir: hidup sangat singkat, dan rasanya sangat sayang
jika tujuannya hanya beranak dan mencari kemapanan. Saya mulai gamang dengan
tujuan hidup.
Dan sampai sekarang, saya belum benar-benar tahu tujuan itu.
Itu jadi salah satu alasan yang membuat saya masih bertahan. Ah, bukankah hidup
memang perihal pencarian demi pencarian?
Ada banyak hal juga yang membuat saya berat untuk beranjak,
bahkan untuk pulang. Yogya sudah terlalu banyak memberikan tawa dan tangis,
suka dan duka, harapan dan kecewa. Yogya telah memberikan banyak pelajaran
tentang bagaimana memperjuangkan untuk mengikhlaskan, mengejar untuk
melepaskan, mencinta untuk menderita.
Saya tak tahu, sampai kapan saya akan tinggal di sini. Ada keinginan untuk beranjak, ke tempat yang sangat jauh. Terkadang, saya merasa sangat lelah hidup terkurung bayang-bayang masa silam. Dan jika nanti saya telah beranjak, mungkin yang akan paling saya rindukan adalah malam-malam yang selalu melankolik. Ketika malam jatuh di Yogyakarta. (Meminjam judul lagi Silampukau, Malam Jatuh di Surabaya, salah satu judul yang paling saya suka di album mereka).
Kotagede, 31 Oktober 2021
Komentar
Posting Komentar