SEBUAH email masuk. Dari redaktur. Isinya: “Kita ini bukan Superman! Tidak semua masalah harus kita selesaikan!”.
Seketika mood saya rusak. Emosi saya meledak. Kami terlibat dalam debat panas. Saya ingin tulisan saya tentang konflik sebuah perusahaan dengan masyarakat dimuat. Laporan itu berisi kisah tentang anak-anak di sebuah desa di Jogja, yang tak bisa lagi bermain di sungai dekat rumah mereka.
Dulu, sungai itu jadi tempat favorit mereka untuk bermain. Tapi beberapa tahun terakhir, mereka tak bisa lagi bermain di sana. Limbah perusahaan telah mencemari sungai mereka. Dan sebagai anak muda yang dibesarkan dalam lingkungan aktivisme, saya terpanggil untuk menuliskan cerita mereka.
“Kita itu debu aja belum, kok sok-sokan mau nyelametin dunia! Yang kamu lawan itu raksasa. Kamu mau bunuh diri?” lanjut redaktur saya.
Itu bukan kali pertama kami berdebat. Saya pernah berdebat juga soal penambangan pasir ilegal yang merusak ekosistem di Sungai Serayu. Kami pernah berdebat soal sengketa lahan antara petani di Jogja dengan sebuah perusahaan besar. Kami pernah berdebat soal liputan tentang dugaan penyelewengan anggaran oleh sebuah instansi pemerintahan. Dan masih banyak lagi.
Dan semua laporan yang sudah saya susun sebaik mungkin, berakhir dengan penolakan.
Hingga akhirnya saya mulai memahami apa yang dimaksud oleh redaktur saya. Intinya, kita harus tahu diri. Kita harus tahu batasan. Seorang yang tak tahu batasan, ibarat sedang menggali kuburnya sendiri.
“Kalau mau perang, pastikan kekuatan kita sebanding dengan lawan yang mau kita hadapi. Kita harus siap, baik secara amunisi, kekuatan, juga strategi. Tanpa itu semua, sama saja kita bunuh diri. Kita tidak akan dikenang sebagai pahlawan, kita justru akan dikenal sebagai anak kecil yang mati dengan cara konyol,” tulisnya panjang lebar.
Ya, untuk jadi besar kita butuh proses. Kami jurnalis, bukan superhero seperti yang ada di film-film Marvel. Saya masih sangat hijau. Kalaupun aku mati, tak perlu dikenang sebagai pahlawan penyelamat dunia. Tak dikenang sebagai bocah yang mati konyol saja sudah cukup.
Kotagede, 25 Januari 2022
Foto: Pixabay
Komentar
Posting Komentar