“Tak ada nastar di lebaran tahun ini,” begitu kata seorang
kawan yang tidak bisa mudik ketika saya hubungi beberapa hari kemarin. Dia
terjebak di Jogja karena corona, tak bisa pulang kampung (saya tak mau berdebat
soal mudik dan pulang kampung) seperti saya.
Tentu, tak ada nastar. Di situasi sulit begini, lebih baik
uang dipakai untuk beli beras ketimbang satu toples nastar. Tentu bukan sekadar tidak ada nastar, lebaran kali ini juga
berlangsung tanpa baju baru, tanpa salat ied berjamaah di masjid atau lapangan,
tanpa salam-salaman keliling kampung, dan tentu tanpa keluarga. Orang-orang
menyebut semua ini dengan istilah ‘new normal’ atau keadaan normal yang baru.
Ah, benarkah situasi normal berlebaran atau ber-idul fitri
itu memang harus ada nastar, opor, ketupat, serta salam-salaman keliling
kampung menggunakan baju baru? Apa justru elemen-elemen tersebut yang membuat
lebaran kita selama ini tidak normal, dan corona setidaknya mendekatkan lagi
cara kita ber-idul fitri ke situasi normal?
Idul fitri adalah hari pembuktian, bahwa latihan berpuasa yang
kita jalani selama sebulan kemarin tidak sia-sia. Idul fitri bukan hari untuk
balas dendam, menumpahkan segalan nafsu yang sudah ditahan (jika memang kita
menahannya) selama sebulan kemarin. Idul fitri bukan ajang untuk berlomba, baju
baru siapa yang paling bagus dan mahal, bukan ajang untuk berlomba hidangan
siapa yang paling mewah, bukan juga ajang untuk pamer pasangan siapa yang
paling cakep.
Baca Juga: Kepada Rembulan, Jika Aku Usai
Corona seperti sedang memaksa kita untuk mengikuti cara Nabi
merayakan Idul Fitri: penuh kesederhanaan dan kesunyian. Sebagian dari kita
dipaksa merayakan hari raya di sudut kamar kos yang sunyi, tanpa nastar, tanpa
Kong Ghuan, bahkan tanpa rengginang. Kita dipaksa merayakan hari raya dengan
cara primordial, buan dengan tradisi-tradisi formal yang diciptakan oleh
sosial-masyarakat.
Sepertinya istilah ‘new normal’ kurang pas, bukan hanya di
konteks lebaran ini, tetapi untuk semua lini kehidupan kita yang ‘berubah’
karena Corona. Istilah ‘back to normal’, kembali ke situasi normal, kembali ke
fitrah, kembali sunatullah, tampaknya lebih tepat untuk menggambarkan situasi
sekarang.
Tidak mudah? Tentu saja. Selama ini kita sudah terjebak pada
standar-standar yang kita buat, yang celakanya kerap bikin susah sendiri. Lebaran
harus begini, lebaran harus begitu, lebaran harus punya ini, harus ada itu,
kalau enggak begini nanti malu sama tetangga, dan standar-standar lainnya yang
seolah menjadi sebuah keharusan.
Musa, Isa, Muhammad, semua menerima wahyu pertama dalam
situasi sunyi. Musa di Gunung Sinai, Isa di sebuah gua di Yerusalem, dan
Muhammad di Gua Hira ketika sedang menyepi. Sidharta, juga memperoleh
penerangan sempurna ketika dia mengasingkan diri dari kerajaan, dan bersemedi
di bawah pohon bodhi. Lantas, kenapa kita sangat membenci kesunyian ini?
Bukankah pencerahan justru kerap hadir di dalam sunyi?
“Dan demi malam apabila telah sunyi. Tuhanmu tidak
meninggalkanmu. Tidak pula membencimu”
Yogya, 23 Mei 2020
Foto: CNN
x
Pantesan aku ngerasa 'buthek' banget, tiap hariku pasti rame sih..
BalasHapusSesekali, menyepilah, biar kamu dapatkan sunyi.
HapusKalo di rumah pasti rame, bahkan udah larut malam pun tetep rame
HapusSamping rumahmu dipakai buat balap liar?
Hapus