Pura-pura Kehilangan Ramadhan

Ilustrasi acara makan ketika lebaran (Pexels)

SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, akhir bulan Ramadhan selalu bernuansa sendu dan haru. Di mimbar-mimbar ceramah, di televisi, di media sosial, bahkan di grup chat keluarga, orang-orang mengungkapkan rasa sedihnya karena tak lama lagi Ramadhan akan berakhir. Dengan kata-kata puitik, dengan diksi-diksi yang melankolik, kita ingin terlihat sebagai orang yang paling kehilangan atas berakhirnya Ramadhan.

Tapi di sisi lain, kita mulai menumpuk makanan di lemari dan kulkas. Kita mulai sibuk ke mal, atau sekarang mungkin lebih banyak yang berselancar di toko digital, mencari baju-baju terbaik untuk dipakai di hari yang kita sebut sebagai hari raya, tidak lupa dengan petasan dan kembang api supaya perayaan lebih meriah meski lupa kalau banyak orang yang butuh tidur nyenyak malam harinya.

Di satu sisi kita mengaku sedih karena akan kehilangan Ramadhan, tapi di sisi lain kita malah sibuk menyiapkan pesta untuk merayakan kepergian Ramadhan. Di satu sisi kita mengaku sedih, tapi di sisi lain kita merayakan berakhirnya Ramadhan dengan sangat bahagia, penuh suka cita. Sulit sekali untuk dipahami.

Jika Ramadhan bisa bicara, mungkin dia akan bilang dengan lantang di daun telinga kita: GOMBAL!!!

Baca Juga: Tuhan Tidak Perlu Dibela, yang Perlu Dibela Itu Ormas

Lagipula, apa sebenarnya yang sedang kita rayakan? Idul Fitri yang konon merupakan hari kemenangan itu? Kemenangan dari apa? Dari melawan hawa nafsu selama sebulan? Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar menahan hawa nafsu?

Apakah selama sebulan kita sudah benar-benar bisa menahan diri untuk tidak ghibah atau membicarakan keburukan orang lain? Apakah selama sebulan kemarin kita sudah bisa menahan lisan kita untuk tidak mengucapkan kata-kata yang melukai orang lain? Apakah sebulan kemarin kita bisa menjaga jempol-jempol kita untuk mengomentari semua hal di media sosial yang memicu kegaduhan? Apakah selama sebulan kemarin kita sudah bisa menahan atau menghilangkan rasa benci kita kepada semua orang?

Atau ternyata kita hanya menahan lapar dan haus saja sejak subuh sampai maghrib? Kalau sekadar menahan lapar dan haus seharian, binatang saja bisa. Lantas, apa istimewanya? Apa yang pantas kita rayakan dari puasa macam itu?

Atau jangan-jangan kita merayakan lebaran karena selama bulan Ramadhan kita merasa terkekang dan terpenjara? Bukankah selama Ramadhan kita tidak bisa ngopi di pagi hari sebelum berangkat kerja, tidak bisa ngobrol santai dan bersenda gurau di kantin kantor bersama teman kerjsa sembari makan siang, atau menikmati segarnya es kelapa muda di tengah siang yang teriknya makin jahanam.

Berapa sering kita dengar kata-kata ‘Lagi puasa enggak boleh marah’, ‘lagi puasa enggak boleh gibahin orang’, atau ‘lagi puasa, jaga pandanganmu’ selama puasa? Seolah setelah tidak puasa semua itu sah untuk kita lakukan.

Apakah kita berpesta dan membuat perayaan karena setelah Ramadhan berakhir, maka kita bisa melakukan lagi apa yang jadi pantangan selama sebulan kemarin? Apakah karena setelah Ramadhan berakhir, maka kita sudah bebas untuk marah-marah, bebas untuk ghibah, bahkan bebas mengumbar pandangan untuk melihat yang tak mestinya kita lihat, sehingga begitu antusiasnya kita merayakan berakhirnya Ramadhan?

Apa yang kita lakukan, ternyata banyak sekali yang bertolak belakang dengan yang kita katakan. Kita bilang sedih karena Ramadhan berakhir, tapi setelah salat Ied, kita kalap menyantap semua yang dihidangkan di meja makan: opor, ketupat, semur, rendang, nastar, putri salju, dan berbagai jenis makanan lain yang tak terhitung jumlahnya sampai lupa pada daya tampung lambung yang terbatas.

Kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri, dan menjawabnya dengan jujur dari lubuk hati yang paling dalam. Apakah kita benar-benar merasa kehilangan Ramadhan, atau kita sekadar pura-pura kehilangan?

Yogya, 12 Mei 2021

Komentar