ilustrasi demo mahasiswa (Ist)
AZAN
subuh sudah berkumandang. Namun Salim dan dua orang temannya tak juga
memejamkan mata untuk tidur. Mereka masih duduk melingkar di meja bundar
kontrakan yang remang-remang karena hanya diterangi sebuah lilin kecil dan
hampir habis. Seminggu lalu listrik kontrakan mereka disegel PLN. Pencabutan
subsidi listrik oleh pemerintah membuat harga listrik melonjak tajam, walhasil
tiga mahasiswa semester tua itu tak mampu membayar tagihannya. Lebih baik untuk makan di
angkringan, begitu pikir mereka.
Tak
banyak yang bicara sepanjang malam itu. Mereka bertiga tengah berharap cemas,
berada dalam ketidakpastian sebuah harapan. Pagi ini nasib mereka dipertaruhkan.
Badrun yang duduk membelakangi pintu tampak pucat dalam keremangan. Matanya
bengkak karena kurang tidur. Tatapannya kosong memandang api lilin yang hampir padam.
Aryo
terlihat paling tidak terurus di antara mereka. Rambut gondrongnya entah sudah
berapa minggu tak dikeramas. Bau badannya kian menyengat. Bajunya entah sudah
berapa hari tak ganti, hanya dibolak-balik supaya tak terlihat sama setiap
hari. Ketiganya tampak semakin cemas dan gelisah seiring naiknya matahari di
ufuk timur.
“Ingat,
kita jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Kesalahan sedikit saja bisa
habis kita,” kata Salim memecah keheningan.
Kedua
rekannya tak menjawab, masih sibuk bergelut dengan pikirannya masing-masing.
“Berapa
massa yang dapat kita kumpulkan?,” tanya Badrun.
“Seribu
lebih, itu data yang masuk dari masing-masing koordinator fakultas,” jawab Aryo.
“Hemm,
tim propaganda dan mobilisator telah bekerja dengan baik. Sekarang tinggal
bagaimana kita mengeksekusinya,” Badrun menanggapi sambil berdiri dari kursi
reotnya.
Badrun
berjalan menuju jendela kaca, menyingkap tirainya. Pendar mentari yang mulai
menyingsing menerobos masuk ke dalam ruangan pengap itu. Lilin telah habis
terbakar.
“Ingat
tugas masing-masing. Tidak mudah mengumpulkan massa sebanyak ini. Harus kita
gunakan momentum ini sebaik mungkin,” tambah Badrun sembari menatap jalanan
yang masih lengang.
“Sudah
setengah enam, mari kita bergegas. Yo, coba kau hubungi Jaka dan teman-temannya.
Suruh bawa semua perlengkapan ke titik temu,” ujar Salim.
“Ya,
mereka juga sudah bersiap-siap. Barusan Jaka SMS,” Aryo menjawab.
Setelah
mencuci muka, ketiganya bergegas ke suatu tempat. Sebuah rencana besar sudah di
depan mata, semakin mendekat, menunggu untuk dieksekusi.
Baca Juga: Exulansis, Sebuah Coretan Harian [2]
Baca Juga: Exulansis, Sebuah Coretan Harian [2]
[ ** ]
PUKUL
enam pagi mereka sudah berada di bawah tugu garuda, simbol kebanggaan kampus
mereka. Ada Jaka dan dua temannya juga di sana membawa spanduk dan kertas berukuran lebar, isinya kalimat-kalimat perlawanan. Tak
ketinggalan juga pengeras suara, barang wajib yang selalu ada setiap mereka melakukan
demonstrasi.
“Sesuai
rencana, aku dan Badrun akan ke rektorat, memastikan rektor datang dan tidak
kabur. Aryo, kamu siap-siap membakar semangat anak-anak dengan orasimu,” Salim membuka
konsolidasi kecil itu.
“Beres,
serahkan kepadaku,” jawab Aryo yang terkenal jago orasi itu.
“Jak,
kamu dan teman-temanmu jangan lupa koordinir massa yang datang. Bantu Aryo juga
kalau-kalau dia butuh bantuan,” lanjut Salim.
“Beres
Lim,” Jaka menjawab singkat.
Dalam
sekejap mereka telah menjalankan tugasnya masing-masing. Salim dan Badrun yang
bertugas memastikan keberadaan rektor langsung bergegas ke gedung rektorat yang
megah. Masih sepi, hanya tampak beberapa petugas kebersihan tengah menyapu di
sekitar gedung. Kabut tipis masih menyelimuti pagi yang malas. Mentari masih
malu-malu di ufuk timur.
Selang
limabelas menit tampak mobil rektor datang, berhenti persis di depan pintu
masuk gedung. Sosok pria paruh baya tambun keluar dari dalam mobil, berjas
rapi menyangking sebuah koper kerja
hitam yang mengkilap.
“Itu
dia si bajingan,” gumam Salim pelan di balik gazebo yang ada di sekitar gedung
rektorat.
“Si bajingan telah datang,” lanjut
Salim ke arah HT hitam yang digenggamnya, mengabarkan ke tim Aryo.
“Ayo
kita masuk, pastikan
dia tak kemana-mana,” ajak Badrun.
Mereka
berdua masuk dengan gaya pembangkang, tak ada keraguan dan rasa takut sama
sekali. Jiwa muda mereka benar-benar telah terbakar oleh kemarahan karena
tingkah birokrat kampus yang sewenang-wenang.
“Ada
perlu apa kalian?,” tanya seorang satpam yang tengah berjaga.
“Mau
ketemu rektor, sudah buat janji kemarin,” jawab Salim tak acuh.
Satpam
yang berjaga membiarkan mereka masuk sambil menatap Salim dan Badrun dengan
pandangan curiga.
“Si
Bajingan aman,” kata Salim lagi ke arah HT-nya.
[ ** ]
SEMENTARA
itu, di bawah tugu garuda ratusan mahasiswa dari seluruh fakultas telah
berkumpul. Berbagai jenis bendera mulai dikibarkan. Kain putih telah terikat
erat di kepala sebagian besar mereka. Spanduk-spanduk berisi tulisan perlawanan dan
penolakan mulai dikeluarkan.
“Tolak
UKT. Turunkan Biaya Pendidikan. UKT Naik, Rektor Turun. Tendang UKT. Tolak
Komersialisasi Pendidikan,” tulis beberapa spanduk yang sudah mereka pegang.
Massa
terus berdatangan, tampaknya propaganda yang telah mereka lakukan benar-benar
berhasil.
“Kawan-kawan,
sebentar lagi kita akan menyerbu gedung rektorat. Apakah kalian siap?” teriak
Aryo sembari memegang toa andalannya. Berusaha membakar massa yang kini
jumlahnya hampir seribu.
“Siap!”
jawab massa hampir bersamaan tidak kalah semangat.
“Perjuangan
kita adalah perjuangan untuk masa depan bangsa. Perjuangan kita ini untuk
menuntut hak-hak kita sebagai warga negara. Apakah kalian ragu?” lanjut Aryo.
“Tidak
!”
“Sekarang
kepalkan tangan kiri kalian dan angkatlah sebagai bentuk perlawanan kita
terhadap semua kesewenangan yang dilakukan pejabat-pejabat brengsek di atas
sana. Kita teriakkan bersama salam perjuangan kita. Hidup Mahasiswa!” Aryo terus
berorasi.
“Hidup
Mahasiswa!”
“Hidup
Rakyat!”
“Hidup
Rakyat!”
Massa
aksi terus berdatangan, matahari sudah naik cukup tinggi. Aryo melihat arloji
tua warisan sang ayah yang melingkar di tangannya. Sudah pukul tujuh lebih. Ia
melihat Jaka, keduanya saling berpandangan seakan sedang berkomunikasi lewat
tatapan mata. Jaka menganggukkan kepala, tanda menyepakati sesuatu.
“Kami
datang,” kata Aryo ke HT yang sedang dipegangnya.
“Oke,
kami siap menyambut. Tawanan aman,” terdengar suara Salim membalas pesan Aryo dari
HT-nya.
Aryo
dan Jaka memimpin massa menuju ke gedung rektorat yang jaraknya tak lebih dari
setengah kilometer. Massa berbaris, memenuhi jalanan sembari menyanyikan
lagu-lagu perlawanan khas demonstrasi mahasiswa. Pasukan brimob sudah sejak tadi juga datang
menggunakan dua buah mobil. Tidak kurang dua puluh polisi berjaga-jaga dengan
atribut lengkap di sana. Sebuah pemandangan yang menegangkan.
Baca Juga: Absenteisme [2]
Baca Juga: Absenteisme [2]
[ ** ]
“MEREKA
dirampas haknya. Tergusur dan Lapar. Bunda relakan darah juang kami. Untuk
membebaskan rakyat”
Sayup-sayup
lagu darah juang yang dinyanyikan massa mulai terdengar oleh Salim dan Badrun,
serta semua yang sedang berada di gedung rektorat. Badrun bergegas memasuki
ruangan rektor saat itu juga.
“Sesuai
surat yang sudah kami sampaikan beberapa hari lalu Pak. Hari ini kami akan
melakukan aksi. Saya harap nanti Anda mau menemui massa, atau jangan
salahkan kami jika terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan,” ujar Badrun kepada
rektor dengan dingin dan nada mengancam.
Badrun
langsung keluar tanpa menunggu jawaban dari rektor. Nyanyian-nyanyian massa
semakin jelas terdengar. Sudah sebagian massa memenuhi halaman rektorat
rupanya.
“Beres,”
kata Badrun kepada Salim sembari mengacungkan jempolnya.
Salim
hanya menganggukkan kepala. Lalu ke arah HT yang ia pegang berkata “Rektor
aman, segera kondisikan massa !”.
“Beres,”
suara yang keluar membalas instruksi Salim.
Sudah
pukul delapan kurang seperempat. Sesuai yang direncanakan, seribu lebih massa
telah berkumpul di rektorat menuntut penurunan atau bahkan penghapusan UKT.
Tahun ini biaya kuliah memang sedang naik gila-gilaan. Status PTNBH yang baru
didapat tahun ini membuat kampus mereka bebas menaikkan biaya kuliah seenaknya.
Apalagi rektor yang baru dua tahun menjabat itu terkenal sangat politis dan
materialis. Bahan yang sempurna untuk melakukan propaganda kepada mahasiswa.
Kini
terlihat Jaka yang menaiki panggung orasi. Dia juga orator yang ulung, tidak
kalah dengan Aryo. Kain putih terikat di kepala. Pengeras suara telah
menggantung di pundak. Jaka siap melakukan agitasi untuk membakar semangat
massa.
“Kawan-kawan,
kita telah sampai di gedung rektorat yang megah ini. Di dalam sanalah rektor
kita tercinta bersinggasana. Dia yang telah dzalim kepada mahasiswa, dia yang
telah dzalim kepada rakyat, dia yang telah dzalim kepada semangat pendidikan
nasional kita. Apakah kalian akan membiarkan dia pergi?,” teriak Jaka dengan nada
memprovokasi, tidak kalah garang dari Aryo.
“Tidak,”
jawab massa serentak.
“Kalau
begitu mari kita kepung rektorat ini. Kita hadang semua akses keluar-masuk
gedung. Jangan biarkan rektor kita kabur meninggalkan kita,” lanjut Jaka masih
dengan nada memprovokasi. Jaka memang terkenal sangat lihai berpropaganda dan agitasi di
antara aktivis-aktivis mahasiswa. Terkumpulnya seribu lebih mahasiswa dalam
aksi itu tidak lepas dari peran Jaka selama kurang lebih sebulan terakhir.
Dalam
sekejap massa telah mengepung gedung rektorat, menghadang semua akses keluar
gedung. Salim dan Badrun juga sudah bergabung dengan massa. Lagu-lagu
perjuangan terus dinyanyikan. Kalimat-kalimat perlawanan dan provokasi semakin
keras terdengar, berteriak-teriak dari pengeras suara. Terik matahari semakin
membakar semangat massa. Namun sudah satu jam lebih tidak ada tanda-tanda
rektor akan menemui mereka. Suasana jadi memanas.
“Kalau
rektor yang mengaku sebagai bapak kita itu tidak mau menemui kita, apakah
kalian siap menyerbu gedung ini? Apakah kalian siap untuk beramai-ramai masuk menjemput rektor dan membawanya ke sini secara
paksa?” kata Badrun yang kini berorasi dengan gaya seperti Sukarno.
Anak
laki-laki asal Madura itu memang sejak kecil sudah sangat mengidolakan Sukarno.
Bapaknya yang seorang simpatisan Sukarno tampaknya berhasil mewarisi semangat
Sukarnoisme kepada anak semata wayangnya itu; minimal dari caranya berretorika.
“Siap,”
jawab massa masih tetap kompak dan semangat.
Selang
setengah jam rektor belum juga keluar menemui mereka. Badrun mulai jengah.
“Tampaknya
rektor tidak mau menemui kita. Baik, kalau begitu, dengan senang hati, mari
kita jemput bersama-sama bapak kita tercinta itu,” kata Badrun semakin
memanaskan suasana.
Namun
tiba-tiba seorang pegawai rektorat keluar. Ia menghampiri Salim yang berada di
belakang panggung alakadarnya itu. Inisiator aksi lainnya ikut merapat. Mereka
terlihat cukup serius merundingkan sesuatu. Setelah kurang lebih lima menit,
pegawai itu kembali masuk ke dalam gedung.
“Kawan-kawan,
tadi seorang utusan rektor datang menemui kami. Katanya rektor ingin bertemu
dengan perwakilan dari kita untuk membicarakan sesuatu. Karena itu, kami akan
masuk terlebih dahulu. Doakan, semoga kita dapat memperjuangkan semua ini,”
kata Salim dengan nada yang lebih tenang.
Dia memang bukan tipe orator,
melainkan diplomator yang ulung. Karena keahlian berdiplomasinya itu, ia sempat
menjadi ketua salah satu organ pergerakan mahasiswa selama dua periode
berturut-turut.
“Terus
nyanyikan lagu-lagu perjuangan, jangan sampai api perlawanan kita kalah dengan
panasnya matahari yang semakin terik ini. Jangan sampai api perjuangan kita
padam. Panjang umur perlawanan, panjang umur perjuangan,” lanjut Salim.
Kini
massa dipimpin oleh salah seorang koordinator fakultas. Lagu buruh tani kini terdengar
nyaring. Sementara keempat inisiator utama aksi, Salim, Aryo, Badrun, dan Jaka
masuk ke dalam gedung, memenuhi undangan rektor.
[ ** ]
MASSA
tidak lelah-lelahnya terus bernyanyi, meski matahari seperti hanya beberapa
senti di atas kepala. Setengah jam sudah Salim dan ketiga kawannya memasuki
gedung, memenuhi panggilan rektor untuk berunding. Hingga beberapa saat mereka
berempat keluar dengan wajah agak kecewa; mengundang rasa penasaran massa
aksi. Salim
langsung naik ke panggung dan meminta pengeras suara. Sejenak massa yang
tadinya tengah bernyanyi kini senyap. Mereka menanti hasil perundingan dengan
tidak sabar.
“Kawan-kawan,”
Salim mengawali dengan agak berat.
“Kita
telah memenangkan perlawanan ini,” lanjut Salim.
Sontak
suara massa sangat riuh bersahutan.
“Rektor
tidak bersedia menemui kita di sini, saat ini. Tapi beliau janji, akan
menindaklanjuti semua tuntutan kita hari ini,” kata Salim tenang.
“Huuuu,”
kini teriakan massa berubah bernada hinaan dan kecewa.
“Tenang
kawan-kawan, kami telah memaksa rektor menandatangani petisi yang kita ajukan.
Semua ada di sini,” lanjut Salim sembari menunjukkan sebuah map biru di
tangannya.
“Alhamdulillah,
puji syukur dan puji Tuhan. Perjuangan kita hari ini tidak sia-sia. Dengan
tetap menyuarakan seruan-seruan perlawanan, dengan tanpa memadamkan api
perlawanan, serta tanpa mengendurkan semangat perlawanan kepada kesewenangan,
mari kita kembali. Hidup Mahasiswa!”
“Hidup
Mahasiswa !”
“Hidup
Rakyat !”
“Hidup
Rakyat !”
Massa
bubar, satu persatu meninggalkan rektorat membawa sedikit kekecewaan karena
rektor tidak langsung menemui mereka. Namun apa yang disampaikan Salim cukup
mengobati kekecewaan mereka.
Kini
tertinggal empat orang inisiator di depan gedung rektorat. Mereka saling
pandang, tanpa suara. Ada kecewa, takut, rasa bersalah, sekaligus bahagia di
mata mereka.
“Ayo
kita pulang,” ajak Salim.
Mereka
bergegas, turut meninggalkan rektorat dengan langkah gontai.
[ **
]
DUA
pekan pascamelakukan aksi ada yang berbeda dengan Salim, Aryo, Badrun, dan
Jaka. Mereka yang biasa tampil urakan, tak terurus dan terawat itu kini tampil
lebih necis. Mereka tampil lebih rapi dan wangi. Tidak hanya itu, mereka yang
biasanya kemana-mana naik angkutan umum, sekarang memakai sepeda motor baru. Selang
satu bulan mereka lulus, wisuda secara bersamaan. Kapan mereka sidang skripsi,
tak ada yang tahu. Yang pasti
mereka tampak bahagia.
Namun
tampak ada satu hal yang membuat kebahagiaan mereka tidak lengkap. Di tengah
riuhnya pesta wisuda mereka tampak melamun.
“Sudah,
tidak usah terlalu dipikirkan. Anggap saja ini jalan rezeki Tuhan untuk kita,”
kata Salim tenang mencoba menghibur kawan-kawannya yang lain.
“Iya
Lim, sudah hampir tujuh tahun kita berjuang, menjadi orang-orang idealis yang
anti-kemapanan.
Apa salahnya sekarang kita realistis, anggap saja ini hasil kerja keras kita
selama ini. Toh realistis adalah keniscayaan dalam kehidupan,” balas Jaka.
“Benar
kata Tan, idealisme adalah harta terakhir yang dimiliki pemuda. Sementara kita
sudah semakin tua, wajar jika api idealisme mulai redup dalam diri kita,” tambah
Badrun dengan dialek Madura yang masih kental.
Keempatnya
tersenyum kecut dan kini ikut menenggelamkan diri dalam kemeriahan pesta wisuda
dengan berfoto-ria seperti mahasiswa lainnya. Gelar sarjana kini sudah di tangan.
[ ** ]
SEBULAN
berselang
keempat sarjana
muda itu sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aryo dan Jaka
menjadi pegawai rektorat, masing-masing menjadi menjadi staf di bagian akademik dan Humas. Sementara Salim dan Badrun kini sibuk
dengan status mahasiswa baru S2, mereka mendapat beasiswa dari kampus.
Sementara
itu, tindak lanjut yang pernah dijanjikan saat demonstrasi tidak pernah ada.
Tidak ada penurunan biaya kuliah, apalagi penghapusan UKT yang dinilai semakin
kapitalistik. Justru sebuah kebijakan baru dikeluarkan, semester depan semua
UKT naik duapuluh persen. [ ]
x
BalasHapusada 9 permainan poker menarik di AJOQQ :D
ayo segera bergabung dan dapatkan bonusnya :D
WA : +855969190856