DOENG masih duduk termenung di malam takbiran. Suara takbir masih
menggema dari toa-toa masjid, meski pemerintah sudah menyarankan untuk tidak ke
tempat ibadah di tengah pandemi virus corona ini. Kopi panas di depannya masih
mengepul.
“Lebaran kali ini berat banget ya kang,” kata Joni yang baru
saja keluar dari dalam warung Mbok Siti.
“Hemm, biasa saja,” kata Doeng pelan.
“Biasa bagaimana kang?”
“Harusnya aku yang tanya, berat banget bagaimana?”
“Hemm,” giliran Joni yang merenung. “Ya berat kang, tidak
ada salam-salaman, tidak ada salat ied berjamaah di lapangan, tidak ada
liburan, tidak makan bersama seperti tahun-tahun sebelumnya. Banyak juga yang
tidak bisa merayakan lebaran bersama keluarga dan orang-orang tercinta,” lanjut
Joni.
“Ya, berat bagi orang-orang yang sudah terjebak dalam
seremonial lebaran Jon. Sudah lima tahun aku merayakan lebaran di tanah rantau,
tidak pulang kampung dan berkumpul dengan keluarga besar. Tidak ada opor ayam,
tidak ada ketupat, tidak ada baju baru, tidak ada pesta. Semua aku rayakan bersama
hening,” jawab Doeng.
“Enggak pengin ketemu keluarga kang?”
“Aku bisa ketemu mereka kapanpun. Jika aku ingin bertemu
dengan mereka, aku tinggal pulang. Aku pulang jika memang ingin pulang, bukan
karena ada lebaran. Itu merusak esensi pulang dan lebaran itu sendiri”
Baca Juga: Tak Ada Nastar di Lebaran Tahun Ini
Baca Juga: Tak Ada Nastar di Lebaran Tahun Ini
“Halahh, abot kang, berat. Emang kamu enggak pengin minta
maaf?”
“Aku selalu meminta maaf, jika aku melakukan kesalahan. Dan
mereka, tak perlu meminta maaf kepadaku secara pribadi, kalaupun ada yang punya
salah sudah aku maafkan. Langsung. Enggak perlu nunggu lebaran”
“Lah memang menurutmu esensi lebaran apa kang?”
“Kamu udah berapa tahun kenal sama aku? Ngobrol dan diskusi
macem-macem tiap hari, tapi enggak berkembang juga. Hal kayak gitu aja masih
ditanyain ke aku. HP mu itu bagus, iPhone, masa enggak bisa buat buka internet.
Punya HP bagus itu buat belajar juga, bukan cuman buat nonton bokep sama
foto-foto selfie sama cewek-cewek inceranmu itu. Makanya baik secara spiritual
maupun intelektual kamu enggak berkembang sama sekali,” jawab Doeng agak kesal.
“Hehe, iya iya. Sorry kang, jangan marah gitu, baru aja mau
lebaran”
“Aku enggak marah, heran saja sama kamu. Diberi banyak
fasilitas tapi enggak dimanfaatkan”
“Ya namanya juga masih belajar kang”
“Orang belajar itu berkembang, enggak stuck”
“Hehe, eh kang, kata pemerintah kemarin, kita diminta untuk
berdamai dengan corona. Kita diminta untuk bersiap dengan keadaan normal yang
baru atau new normal. Menurutmu gimana kang?”
“Enggak ngurus Jon”
“Jangan gitu dong kang. Nanti kopi sama gorengan tak bayarin
deh”
“Sama rokok juga ya”
“Yohh, khusus edisi lebaran, malam ini aku yang traktir kang”
“Tadi gimana?”
“Itu lho, pemerintah minta kita untuk siap dengan new normal
kang”
“New normal? Memangnya kita pernah normal?”
“Maksudnya kang?”
“Iya, apakah selama ini kita sudah normal? Apakah korupsi
itu normal? Jadi gelandangan di kampung sendiri, apa itu normal? Pemimpin yang
malah bikin susah rakyat, apa itu normal? Negara yang katanya merdeka, tapi
malah bingung mau ngapain, apa itu normal Jon?”
Baca Juga: Corona dan Betapa Rapuhnya Kita
Baca Juga: Corona dan Betapa Rapuhnya Kita
“Iya juga ya kang. Diskriminasi kelas, pemiskinan petani,
nelayan, dan buruh, itu semua benar-benar tidak normal. Mereka yang berusaha
paling keras, tapi mereka juga yang paling miskin. Sementara yang cuman
ungkang-ungkang kaki di ruangan ber-AC, mereka justru yang menikmati semuanya.
Ini enggak masuk akal kang, enggak normal”
“Nah, itu kamu paham Jon. Penindasan, penggusuran, perampasan
lahan, pengusiran, itu semua tidak normal”
“Eh, tapi ini kan konteksnya corona kang”
“Sama saja Jon”
“Sama gimana kang?”
“Alih-alih melindungi dan mengayomi rakyat, negara lagi-lagi
mau mengorbankan mereka”
“Mengorbankan bagaimana kang?”
“Duit negara buat ngasih makan oligarki dan bayar utang udah
makin menipis karena wabah”
“Lalu?”
“Negara mau mengorbankan rakyat. Nyuruh mereka kerja lagi, biarkan
saja rakyat yang menghadapi bahaya virus, biarkan saja rakyat yang mati, yang
penting ada kue yang bisa dibagi lagi”
“Oh, artinya negara mau lepas tangan kang?”
“Memangnya setiap ada masalah negara pernah turun tangan?”
Keduanya terdiam. Joni menghisap dalam rokoknya. Doeng menyeruput kopi pahitnya.
“Berarti enggak ada yang namanya new normal kang?
“Kalau new abnormal, ada”
Yogya, 26 Mei 20.
Foto: Ilustrasi kopi (Pixabay)
Sarkas eh
BalasHapusMantap
BalasHapusDasar KADRUNN!!!
BalasHapus