Tahun Ini, Kita Belajar Mudik yang Sejati


BANYAK yang sedih, karena tidak bisa mudik ke kampung halaman saat lebaran tahun ini. Banyak yang berlinang air mata di pojokan kamar kos ketika suara takbir menggema di udara. Banyak yang mengutuk keadaan, karena selain tak bisa berkumpul dengan keluarga juga harus menahan lapar di hari yang biasanya dirayakan dengan pesta pora. Ya, banyak yang bersedih karena corona.

Mudik seperti sudah menjadi kewajiban di tengah masyarakat kita setiap datangnya hari lebaran. Setiap tahun, mereka rela menempuh perjalanan panjang, menembus macet dan bahaya demi bisa kembali ke kampung halaman. Ada yang benar-benar ingin melepas kangen dengan keluarga, ada yang ingin sungkeman kepada orangtua karena merasa banyak dosa, ada yang sudah tidak sabar menyantap opor dan ketupat khas lebaran buatan ibu, ada yang ingin pamer kesuksesan, tidak sedikit juga yang terpaksa harus mudik karena tuntutan tradisi sosial-masyarakat. Tapi semua tetap mudik, dengan motifnya masing-masing.

Belum lama, Jokowi membuat banyak orang berdebat tentang perbedaan makna mudik dan pulang kampung. Para perantau dilarang mudik, tapi kalau pulang kampung tidak masalah. Selama beberapa hari, rakyat mendapat hiburan dan sejenak melupakan corona. Mungkin itu satu-satunya manfaat yang bisa pemerintah berikan untuk rakyat: lawakan.


Secara bahasa, mudik berasal dari kata udik yang artinya desa atau kampung. Dari situlah ada ejekan orang-orang kota seperti, “dasar udik! atau udik amat lu!” sebagai ejekan lain dari kata “ndeso” atau kampungan. Ketika mendapat imbuhan me-, maka berarti pulang ke desa atau pulang ke kampung atau menuju udik.

Tapi jika dimaknai dari sisi spiritual, mudik tak sekadar pulang ke kampung halaman. Mudik bisa juga dimaknai sebagai proses kembalinya manusia ke fitrahnya, ke kesejatian dirinya. Mudik adalah proses seseorang menuju ke sangkan paran, ke asal muasal dirinya. Lantas, dari mana asal muasal kita? Dari mana sangkan paran kita sebagai manusia?

Innalillahi wa innailaihi roji’unI”
Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya juga kami kembali.

Konsep kalimat Istirja itu dengan sangat jelas menunjukkan kepada kita, dari mana sebenarnya asal muasal kita. Dari mana sebenarnya kita berasal, dan ke mana kita akan kembali: Allah.

Mungkin corona telah membuat kita tidak bisa mudik secara lahiriah. Tapi secara spiritual, corona telah mengajarkan kita bagaimana mudik yang sejati, mudik menuju kesejatian. Corona telah mengajari kita untuk menikmati kesunyian. Corona mengingatkan kita, bahwa tidak ada yang setia menemani kecuali Tuhan. Entah berapa banyak air mata yang tumpah di pojokan kamar kos yang sepi, di tengah lantunan suara takbir di malam hari raya. Di setiap air mata yang jatuh itulah Tuhan hadir. (Walaupun, sebenarnya Tuhan telah hadir kapanpun dan di manapun, tak terbatas ruang dan waktu).


Kesunyian ini membuat kita lebih leluasa untuk berkontemplasi, mengingat-ingat lagi siapa kita sebenarnya, dan untuk apa kita hidup. Corona mengajari kita, bahwa merayakan hari raya bukanlah dengan berpesta pora, bukan dengan saling memamerkan kesuksesan, bukan dengan seremoni-seremoni yang artifisial. 

Corona mengajarkan kita untuk merayakan Idul Fitri dalam artian yang lebih primordial, dengan bermuhasabah diri, dengan menyepi, dengan berpuasa untuk mencapai sunyi. Dan sunyi adalah medium terbaik untuk mudik ke kesejatian. 

Sebab, sejatinya hidup ini adalah sunyi.


Yogya, 28 Mei 20
Foto: Pixabay 

x

Komentar


  1. menangkan uang sebanyak-banyaknya hanya di AJOQQ :D
    AJOQQ menyediakan 9 permainan seru :)
    WA;+855969190856

    BalasHapus

Posting Komentar